Wajah Eko (33) tampak muram siang itu. Sorot matanya yang kosong menatap sebuah poster yang menempel di dinding apotik sebuah rumah sakit swasta di kawasan Jakarta Selatan.
Eko kebingungan karena harus menebus obat senilai ratusan ribu rupiah untuk menyembuhkan sakit herpes yang dideritanya. Ayah dua anak itu tak menyangka kalau harga obat yang harus ditebusnya di apotik bisa semahal itu.
Usut punya usut, dokter ternyata meresepkan obat paten untuk penyakitnya. Eko tidak paham kalau ia sebenarnya dapat meminta dokter atau apoteker untuk mengganti resepnya dengan obat generik tanpa merek yang harganya relatif jauh lebih terjangkau.
"Saya kira resep dokter tak bisa diutak-atik lagi alias harga mati buat kesembuhan penyakit saya," ungkap karyawan swasta di kawasan Palmerah itu.
Jika faktor biaya menjadi pertimbangan utama Eko, tidak demikian halnya dengan pasien lain bernama Angga (34). Ia mengaku tak keberatan dengan keputusan dokter meresepkan obat paten demi khasiat "ces pleng" yang selama ini diyakininya. Kalau pun harus memilih, Angga mengaku tetap menolak diberikan resep obat generik karena khawatir sakitnya akan lebih lama.
"Saya agak ragu dengan obat generik karena sembuhnya suka lama. Walau harus keluar kocek lebih mahal, obat paten memberi saya jaminan cepat sembuh," ujar lelaki yang berprofesi sebagai wartawan ini.
Potret masyarakat tentang penggunaan obat di atas adalah bukti masih terjadinya distorsi informasi tentang obat generik dan obat paten (originator) di masyarakat. Akibat mitos yang kadung melekat, masyarakat kurang yakin dengan obat generik karena harganya yang murah, tak bergengsi serta diragukan khasiat dan kemanfaatannya. Di lain pihak, tak sedikit masyarakat yang kesulitan membeli obat karena harganya sangat mahal.
Menurut guru besar Farmakologi Universitas Indonesia, Prof Arini Setiawati, PhD, distorsi ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila masyarakat benar-benar memahami benar informasi tentang obat generik dan obat originator.
Arini menjelaskan, obat generik tak perlu diragukan khasiatnya karena secara teori memiliki persamaan dengan obat originator dalam hal zat aktif, dosis, indikasi dan bentuk sediaan.
"Obat generik adalah obat yang meng
copy obat originator dan diberi nama generik. Dengan begitu, obat ini memberikan efikasi dan keamanan yang sama," ujarnya pada media forum yang diselenggarakan Sanofi-Aventis di Jakarta akhir Maret lalu.
Obat generik, lanjut Arini, harganya memang lebih murah ketimbang obat paten. Tetapi, bukan dikarenakan mutu atau efikasinya rendah. Obat generik tak memerlukan biaya riset dan pengembangan yang mahal seperti halnya obat originator atau paten.
"Yang diperlukan hanyalah riset untuk membuat formulasi agar dapat setara dengan obat originator sehingga dapat dijual dengan harga murah," ujar anggota tetap Komisi Nasional Penilai Efikasi dan Keamanan Obat Jadi/Obat Modern di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ini.
Obat paten, terang Arini, sangat wajar bila harganya mahal karena biaya yang dibutuhkan untuk risetnya mencapai 900 juta dollar (hampir Rp 900 miliar) hingga 1,8 juta miliar dollar AS. Selain itu, ekslusivitas obat paten ini terbilang relatif singkat. Walaupun diberikan perlidungan paten bekisar antara 17 hingga 20 tahun, tapi kesempatan untuk dipasarkan sebagai obat paten sekitar lima tahun saja.
"Oleh sebab itu harganya mahal karena harus menutup biaya pengembangan tersebut dalam waktu yang relatif singkat," ujarnya.
Arini menambahkan, masyarakat Indonesia sudah saatnya mengubah pola pikir tentang obat generik dan paten. Pasalnya, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakat sudah semakin terbiasa menggunakan obat generik.
Buktinya, peresepan obat generik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data IMS Health National Prescription Audit (NPA) menyebutkan, peresepan obat generik di AS yang hanya 19 persen pada tahun 1984 telah meningkat pesat pada 2007 menjadi 67 persen.
Salah kaprah
Obat generik, lanjut Arini, saat ini dipasarkan di Indonesia dalam dua jenis yakni dengan menggunakan nama generiknya dan memakai merek dagang. Salah satu jenis yang dijual dengan nama generiknya adalah obat generik berlogo (OGB) yang merupakan program pemerintah. OGB dapat dikenali dengan logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di tengah lingkaran.
Sementara itu satu jenis lainnya yakni obat generik bermerek justru tidak diperlakukan sebagai obat generik. Dengan kemasan lebih menarik memakai nama dagang tanpa mencantumkan logo, harga obat bermerek ini jauh lebih mahal dibanding obat generik tanpa merek, padahal kandungan zat aktifnya sama.
Alhasil, fenomena ini menjadikan obat generik bermerek seakan-akan 'diposisikan' sama seperti obat paten. Salah kaprah terhadap obat generik bermerek ini pun tidak terelakkan.
Diakui Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, praktik salah kaprah obat generik menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Betapa tidak, obat generik bermerek yang kandungannya tak jauh berbeda dengan obat tanpa merek dijual dengan harga tidak rasional.
"Bahkan ada yang bisa sampai 200 kali dari harga asli obat generik tanpa merek," ujar Marius.
Padahal, hampir 70 persen obat yang beredar di Indonesia saat ini adalah obat generik bermerek. Sedangkan sisanya adalah obat paten dan obat generik tanpa merek. Peredaran obat paten di Indonesia, kata Marius, tidak banyak yakni hanya sekitar 7 persen saja. Obat-obat paten ini contohnya adalah obat untuk HIV/AIDS, obat-obat kanker dan flu burung.
"Yang lain itu paten-patenan. Yang lebih kejam, tak sedikit oknum dokter yang meresepkan obat generik bermerek kepada pasien, tetapi menyebut obat tersebut sebagai obat paten. Padahal jelas, itu melanggar etika profesi kedokteran," ujar Marius.
Benang kusut
Marius yang juga anggota Tim Rasionalisasi Harga Obat Generik Nasional di Kementerian Kesehatan menilai masalah obat generik adalah benang kusut yang tak pernah selesai dari tahun ke tahun.
Rumitnya masalah pengaturan obat generik di Indonesia adalah akibat ketidaktegasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menegakkan kebijakan soal peredaran obat generik bermerek. Harga obat generik sebenarnya telah diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan, tetapi anehnya, peraturan ini hanya diterapkan pada obat generik tanpa merek saja.
"Di sinilah benang kusutnya, yang liar adalah obat generik bermerek, yang tak mau tunduk pada peraturan itu. Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bina Kefarmasian tidak ada niatan untuk menetapkan harga obat generik bermerek," ujar Marius.
Kalaupun Menkes telah membuat peraturan baru yang mewajibkan seluruh dokter di layanan kesehatan pemerintah mewajibkan peresepan obat generik, peraturan itu diyakini Marius tidak akan berjalan efektif. Peran apoteker sebagai profesi yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan di bidang kefarmasian pun belum bisa diharapkan.
Senada dengan Marius, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Priyo Sidipratomo, manilai karut marutnya masalah obat generik lebih disebabkan karena lemahnya penegakkan peraturan tata niaga farmasi.
Sementara profesi dokter pun tak bisa sepenuhnya disalahkan karena mereka kerap mengalami masalah dan keterbatasan di lapangan. Masalah peresepan obat generik, kata Priyo, biasanya muncul ketika dokter dihadapkan pada kendala kekosongan stok obat. Karena obat generik tanpa merek langka, dokter akhirnya beralih pada obat generik bermerek atau obat paten.
Namun Priyo pun tak mengelak bila ada segelintir oknum dokter yang bertindak melawan etika profesi. "Dokter-dokter yang disponsori itu jelas tidak etis, berlawanan dengan etika. Namun itu hanya terjadi di kota-kota besar, di kota kecil sangat jarang," ungkapnya
Salah satu solusi yang dapat mengatasi masalah ini, lanjut Priyo, adalah penerapan sistem asuransi kesehatan secara universal sebagai jalan keluar mengatasi pembiayaan kesehatan di Indonesia.
"Dalam dunia kedokteran, itu tidak bisa dibersihkan 100 persen, kecuali dengan asuransi kesehatan. Dokter yang baik hanya akan lahir dalam sistem pelayanan kesehatan yang baik. Jadi intinya harus ada sistem yang baik," terangnya.
Hak pasienDemi kemaslahatan, Priyo tak lupa pun berpesan agar pasien selalu membiasakan diri meminta resep obat generik setiap kali datang berobat ke dokter. "Sampaikan saja, karena ini adalah hak setiap pasien," ujarnya.
Ia pun meyakinkan bahwa di mata para dokter, citra obat generik sebenarnya tidak pernah luntur. "Pandangan para dokter tentang obat generik sejauh ini bagus. Tidak ada masalah dari sisi efikasi dan khasiatnya. Bahkan di semua institusi milik pemerintah, para dokter sudah diwajibkan meresepkan obat generik," ujar Priyo.
sumbernya