Rabu, 26 Mei 2010

Ambisi Indonesia di Luar Angkasa

Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, Indonesia punya banyak ambisi. Salah satunya adalah menguasai luar angkasa, paling tidak bagian dari luar angkasa yang tepat berada di atas bumi nusantara.


Jika telah mengalahkan atau menyatukan Nusantara, baru saya akan merasakan kenikmatan duniawi, begitu kira-kira terjemahan bebas Sumpah Palapa, sebuah sumpah yang diucapkan Gajah Mada di hadapan seluruh pejabat Istana Majapahit di hari pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi.
Sumpah Palapa diucapkan pada kurang lebih tahun 1336 atau sekitar 637 tahun yang lalu. Sumpah yang ketika itu mungkin sangat militeristik kini menjelma sebagai sebuah mantra soal persatuan dan kesatuan seluruh wilayah Indonesia yang dikenal juga dengan nama Nusantara.
Sumpah heroik itu yang kemudian menjadi inspirasi penamaan satelit pertama Indonesia, Satelit Palapa. Sejak 1976 hingga 2009, Palapa masih bertengger di luar angkasa bagaikan sebuah bukti ambisi yang tak pernah padam.

Satelit dan Nusantara 21
Selusin satelit yang pernah diluncurkan Indonesia ke langit menjadi bukti bahwa Indonesia juga punya kedaulatan di luar angkasa, selain di laut dan bumi. Di sisi lain, satelit yang ada menjadi salah satu cara menghubungkan seluruh penjuru Indonesia dalam era digital. Satelit menjadi tulang punggung koneksi ke wilayah-wilayah terpencil. Contohnya di saat Pemilu, baik 2004 2009, koneksi berbasis satelit banyak digunakan untuk menghubungkan titik-titik Tempat Pemungutan Suara (TPS) terpencil. Koneksi lewat satelit pun memungkinkan pengiriman data hasil pemungutan suara secara cepat ke pusat.
 Koneksi Internet berbasis satelit merupakan salah satu titik dalam arsitektur Nusantara 21. Visi Nusantara 21 adalah visi mewujudkan bangsa Indonesia sebagai masyarakat berbasis imu pengetahuan dan teknologi. Wahana yang digunakan untuk mencapai itu adalah keterhubu­ngan seluruh rakyat melalui infrastruktur Internet. Tentunya, satelit tak bisa sendirian dalam menanggung beban menghubungkan seluruh Indonesia. Pertama, hal itu tidak mungkin dilakukan karena satelit merupakan sebuah benda yang sangat mahal.
Bukan hanya “barang”-nya, biaya peluncuran dan operasional sebuah satelit tak bisa dibilang murah. Palapa D, satelit palapa terbaru dari Indosat yang meluncur 31 Agustus 2009, dikabarkan menghabiskan US$ 200 hingga 300 juta untuk penempatannya di orbit.

Karena harganya yang mahal itu, satelit kemudian akan digunakan lebih banyak untuk kepentingan komersial daripada untuk kepentingan idealis seperti menyatukan seluruh Indonesia.
Kedua, infrastruktur berbasis satelit saja tidak akan cukup untuk memenuhi dahaga koneksi Internet yang ada di seluruh penjuru Indonesia. Di sinilah dibutuhkan infrastruktur lain, seperti koneksi nirkabel (WiMax, RT/RW Net 2.4 Ghz, dan WiFi) yang berfungsi untuk menghubungkan ke pengguna akhir, juga infrastruktur tulang punggung lain seperti Palapa Ring.
Perhatikan namanya yang mirip? Ya, Palapa Ring memang memiliki “misi” serupa dengan Satelit Palapa, menyatukan seluruh penjuru nusantara. Bedanya, Palapa Ring adalah lingkar-lingkar koneksi berbasis kabel serat optik bawah laut de­ngan kapasitas besar. Rencananya, proyek ambisius ini akan dimulai pada akhir 2009.

Telkom 2 dan Palapa D
Memasuki abad 21, infrastruktur telekomunikasi Indonesia boleh dikatakan telah didominasi oleh dua pihak saja. Di satu sisi adalah PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom. Badan Usaha Milik Negara ini memiliki infrastruktur darat yang – bisa jadi – paling luas dan menyeluruh di Indonesia.
Telkom pun menjadi pewaris upaya Indonesia mempertahankan kedaulatannya di luar angkasa, dengan meluncurkan satelit Telkom 1 dan Telkom 2. Yang paling gress, tentunya, adalah satelit Telkom 2 yang meluncur pada November 2005.
Telkom 2 dibangun oleh Orbital, sebuah perusahaan Amerika Serikat, berdasarkan spesifikasi satelit Star-2 dari perusahaan itu. Awalnya, satelit ini akan diluncurkan pada November 2004, tetapi berbagai masalah teknis menerpa sehingga Telkom terpaksa mengundur peluncurannya hingga 2005. Satelit yang menggantikan Palapa B4 ini beroperasi pada frekuensi C-Band di titik 118o Bujur Timur. Satelit yang meluncur dari Kourou, Guyana ini diharapkan bisa beroperasi hingga 2020.
Lebih baru lagi dari Telkom 2 adalah satelit Palapa D dari Indosat. Satelit yang mewarisi penamaan Palapa ini akan menggantikan satelit Palapa C2 yang sudah mengudara sejak 1996 dan dijadwalkan untuk mengakhiri masa tugas pada 2011. Peluncuran Palapa D diwarnai de­ngan momen-momen menegangkan. Tepatnya, beberapa jam setelah peluncuran, Palapa D sempat dinyatakan gagal memasuki orbit. Roket Chang Zheng alias Long March 3B yang digunakan untuk meluncurkan satelit ini adalah roket yang pada awalnya dibangun tahun 1997. Artinya, usia roket itu telah melampaui 20 tahun.
Meski demikian, hal itu tidak berarti roket yang digunakan adalah “barang bekas”. Pasalnya, praktik menggunakan ulang roket adalah hal yang wajar dalam dunia luncur-meluncurkan satelit dan benda luar angkasa lainnya. Biaya besar yang dibutuhkan untuk membuat sebuah roket dari nol jelas menjadi salah satu faktor.
Roket CZ-3B yang digunakan dalam meluncurkan Palapa D telah melakukan 12 misi sebelumnya. Ini menjadikan misi Palapa D adalah yang ke-13. Namun, misi Palapa D merupakan pertama kalinya CZ-3B digunakan untuk menempatkan satelit pada ketinggian 50.000 km.
Tidak ada rincian yang dilepaskan ke publik mengenai masalah yang sempat terjadi pada Palapa D. Media lokal di China melaporkan keanehan terjadi pada tahap ketiga dari peluncuran roket, sedangkan pakar lain berpendapat satelit ini terlambat memasuki orbit yang ditentukan karena bobotnya yang mencapai 4,1 ton.

Menembak burung di udara
Dalam hal menyediakan layanan Internet, satelit memiliki beberapa peranan. Mulai dari multicast satu arah, layanan satu arah dengan terresterial return, dan juga layanan dua arah. Di bumi, penghubung langsung untuk komunikasi data dengan satelit yang kerap digunakan adalah VSAT (Very Small Apperture Terminal).
Pada tahun 2006, peneliti keamanan asal Indonesia, Jim Geovedi dan Raditya Iryandi, mendemonstrasikan bagaimana sebuah satelit bisa “dibajak”. Mereka menyebut kegiatan itu sebagai “Hacking a Bird in the Sky”. Bukan hanya menembus lapisan data di satelit, kedua peneliti itu mendemonstrasikan bagaimana mereka bisa menembus lapisan network dari satelit itu. Secara teoritis, serangan ke satelit seperti itu bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Bahkan, dalam presentasi mereka disebutkan, pembobolan satelit bisa dilakukan untuk mengambil alih kendali sebuah satelit secara penuh.
Peneliti lain di Inggris menemukan cara untuk membobol satelit dan membajak isi komunikasi yang memanfaatkan satelit itu. Ini termasuk siaran televisi, kiriman video dari reporter televisi di lapangan dalam kondisi belum diedit, hingga e-mail dan komunikasi Internet lainnya.
Adanya celah-celah keamanan terha­dap infrastruktur satelit tentu tak perlu menjadi penghalang bagi ambisi Indonesia untuk terus memanfaatkan teknologi tersebut. Justru ini menjadi pelajaran bahwa satelit pun tak lepas dari kemungkinan bahaya keamanan dan oleh karena itu perlu tetap dijaga.

Slot yang hilang
Upaya Indonesia mempertahankan kedaulatannya di luar angkasa tidak selalu mulus. Kasus yang sempat mencuat terjadi pada tahun 2007 dalam insiden yang dikenal di sebagian kalangan sebagai “salah asuhan”.
International Telecommunication Union (ITU), sebuah lembaga otoritas telekomunikasi dunia, menetapkan slot orbit bagi satelit yang digunakan oleh setiap negara di dunia. Termasuk, dalam hal ini, adalah slot orbit yang boleh digunakan oleh Indonesia.

INFO
Satelit Palapa dari Masa ke Masa

Seri A
Palapa A1: 8 Juli 1976
Palapa A2: 3 Maret 1977
Seri B
Palapa B1: 6 Juni 1983
Palapa B2: 3 Februari 1984 (Gagal orbit)
Palapa B2P: 20 Maret 1987
Palapa B2R: 13 April 1990 (Palapa B2 yang diluncurkan ulang)
Palapa B4: 13 Mei 1992
Seri C
Palapa C1: 1 Februari 1996 (baterai bermasalah)
Palapa C2: 16 Mei 1996
Seri Telkom
TELKOM-1: 21 Agustus 1999
TELKOM-2: 2 November 2005
Seri D:
Palapa D: 31 Agustus 2009 (dimiliki oleh Indosat)

Palapa D Detik-detik peluncuran roket Long March 3B yang “menggendong” Palapa D menuju orbit 113o BT.
Pada 2007, pemerintah Indonesia dikejutkan dengan hilangnya hak penggunaan Indonesia terhadap tiga slot orbit. Tepatnya, slot orbit yang “lepas” ada di 107,7o Bujur Timur, 113o BT, dan 150,5o BT. ITU ketika itu memutuskan Indonesia tidak lagi berhak menggunakan tiga slot tersebut.
Insiden ini dikenal sebagai insiden “salah asuhan” karena slot 150,5o BT merupakan slot yang tidak juga dimanfaatkan meskipun telah dialokasikan. Slot ini adalah milik perusahaan Indonesia bernama Satelindo yang, pada 2007, telah melebur ke dalam Indosat.
Ketika itu Indosat dituding telah melakukan “salah asuhan” dengan tidak me­manfaatkan ataupun berencana memanfaatkan slot tersebut. Hal ini terutama karena Indosat yang dianggap lebih fokus dalam menggelar layanan seluler. Setelah melalui berbagai proses, delegasi Indonesia dalam konferensi ITU di bulan November 2007 berhasil meyakinkan lembaga itu bahwa ketiga slot yang ada akan di­manfaatkan dengan baik.
Disebutkan, pada saat itu, ketiga slot akan diisi oleh beberapa satelit berikut ini: Indostar-1A di 107,7o BT, Palapa-C1 di 113o BT, dan Palapa-C4 di 150,5o BT. Realisasinya memang agak sedikit melenceng dari rencana semula. Pada 16 Mei 2009, Satelit Indostar II milik PT Media Nusantara Citra Sky Vision akhirnya diluncurkan dari Kazakhstan. Satelit ini menempati salah satu orbit “salah asuhan” tersebut, yaitu 107,7o BT.
Kemudian, orbit 113o BT memang akhirnya ditempati oleh satelit Palapa. Namun, namanya bukan Palapa C1 seperti laporan pada ITU, melainkan Palapa D yang meluncur 31 Agustus 2009. Sedangkan posisi 150,5o BT rencananya akan diisi dengan satelit Telkom 3 yang merupakan kerja sama Telkom dengan operator lain. Satelit tersebut dipersiapkan untuk meluncur pada tahun 2011.
Ambisi Indonesia di luar angkasa mungkin baru sebatas menempatkan satelit, masih jauh dari negara lain yang sudah mengirimkan warga negaranya ke luar angkasa. Namun paling tidak, bertenggernya “burung-burung” itu bisa membantu mewujudkan ambisi lainnya yang tak kalah bergengsi, mempersatukan seluruh nusantara dalam infrastruktur Internet.

Satu hal yang membanggakan bahwa putra –putri bangsa akhirnya bisa membuat sendiri sebuah satelit yang diberi nama LAPAN-TUBSAT. LAPAN-TUBSAT adalah sebuah satelit mikro yang dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin (Technische Universität Berlin; TU Berlin). Wahana ini dirancang berdasarkan satelit lain bernama DLR-TUBSAT, namun juga menyertakan sensor bintang yang baru. Satelit LAPAN-TUBSAT yang berbentuk kotak dengan berat 57 kilogram dan dimensi 45 x 45 x 27 sentimeter ini akan digunakan untuk melakukan pemantauan langsung situasi di Bumi seperti kebakaran hutan, gunung berapi, banjir, menyimpan dan meneruskan pesan komunikasi di wilayah Indonesia, serta untuk misi komunikasi bergerak.

LAPAN-TUBSAT membawa sebuah kamera beresolusi tinggi dengan daya pisah 5 meter dan lebar sapuan 3,5 kilometer di permukaan Bumi pada ketinggian orbit 630 kilometer serta sebuah kamera resolusi rendah berdaya pisah 200 meter dan lebar sapuan 81 kilometer.
Manuver attitude ini dilakukan dengan menggunakan attitude control system yang terdiri atas 3 reaction wheel, 3 gyro, 2 sun sensor, 3 magnetic coil dan sebuah star sensor untuk navigasi satelit. Komponen-komponen inilah yang membedakannya dengan satelit mikro lain yang hanya mengandalkan sistem stabilisasi semi pasif gradien gravitasi dan magneto torquer, sehingga sensornya hanya mengarah vertikal ke bawah.
Sebagai satelit pengamatan, satelit ini dapat digunakan untuk melakukan pemantauan langsung kebakaran hutan, gunung meletus, tanah longsor dan kecelakaan kapal maupun pesawat. Tapi pengamatan banjir akan sulit dilakukan karena kamera tidak bisa menembus awan tebal yang biasanya menyertai kejadian banjir.
Fasilitas store dan forwardnya dapat digunakan untuk misi komunikasi dari daerah rural yang cukup banyak di Indonesia, selain untuk misi komunikasi data bergerak. Karena catu dayanya terbatas (5 buah baterai NiH2 berkapasitas 12 Ah), satelit dilengkapi mode operasi hibernasi. Saat mode itu diaktifkan, hanya komponen data handling, unit telecommand dan telemetri yang tetap beroperasi untuk memastikan perintah tetap dapat diterima dari stasiun bumi.
Proyek satelit mikro ini disetujui pada tahun 2003 dan awalnya direncanakan akan diluncurkan pada Oktober 2005, namun peluncurannya ditunda akibat muatan utama roket Carthosat-2 yang akan membawa LAPAN-TUBSAT — LAPAN-TUBSAT adalah salah satu dari empat muatan roket tersebut — masih belum selesai disempurnakan. LAPAN-TUBSAT akhirnya berhasil diluncurkan pada 10 Januari 2007 dari Pusat Antariksa Satish Dhawan di India. Dan sekarang LAPAN juga sedang membuat 2 satelit lagi dan sedang mengembangkan teknologi roket luncur yang diber nama SLV (Satellite Launch Vehicle (SLV) dan dan direncanakan dapat diluncurkan pada 2012.
Dan yang paling heboh satelit ini akan di luncurkan dengan roket buatan anak negeri..Roket RX-520 buatan ASLI LAPAN....

Seandainya saja ada seorang pejabat tinggi di Indonesia, mungkin dalam pemerintahan baru di 2010 ini, yang akan berkata, bagaikan Sumpah Palapa versi 2.0: Jika seluruh pelosok nusantara sudah tersambung ke Internet, baru saya akan mencicipi lagi kenikmatan dunia.
Masalahnya, siapa yang berani bersumpah..?????
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Ambisi Indonesia di Luar Angkasa"

Posting Komentar