”Dua tahun lalu suami saya berselingkuh dengan pembantu. Begitu terguncang saya karena tidak pernah berpikir suami akan melakukan hal itu. Perbuatan suami sangat meluluhlantakkan setiap sendi kehidupan saya.
Saya terpojok karena gosip ini menyebar ke seluruh kompleks perumahan. Belum lagi ibu-ibu usil membicarakan, menyalahkan, bahkan sampai ada yang memusuhi saya. Tekanan masyarakat sekitar tertuju kepada saya karena saya dianggap tidak becus mengurus suami sampai harus pergi ke pelukan pembantu.
Saya terpojok karena gosip ini menyebar ke seluruh kompleks perumahan. Belum lagi ibu-ibu usil membicarakan, menyalahkan, bahkan sampai ada yang memusuhi saya. Tekanan masyarakat sekitar tertuju kepada saya karena saya dianggap tidak becus mengurus suami sampai harus pergi ke pelukan pembantu.
Saya tertekan karena selama ini saya korbankan semua hidup saya, kesempatan untuk berkarier, sampai kesempatan bersekolah ke luar negeri demi keutuhan rumah tangga dan keberhasilan suami dan anak-anak. Saya merasa ditikam dari belakang.
Suami minta maaf dan memohon saya untuk tidak meninggalkan dia karena pertimbangan anak. Akhirnya saya mau bertahan walaupun hari-hari dipenuhi dengan ke-bete-an yang entah kapan berakhir. Bayang-bayang perselingkuhan itu selalu tergambar dalam benak saya.
Dua tahun ini saya berusaha untuk menumbuhkan kepercayaan lagi. Tetapi, apa yang terjadi, minggu lalu saya menemukan SMS di HP suami dengan mantan teman tapi mesranya. Saya marah dan merasa dikhianati karena seharusnya sudah tidak ada kebohongan di antara kami.
Saya berpikir hubungan ini harus diakhiri dengan perceraian karena saya sudah tidak percaya kepada suami dan saya tidak melihat dia berniat untuk berubah. Tetapi, bagaimana dengan anak-anak kami? Saya tidak ingin anak-anak bernasib seperti ayahnya (anak korban perceraian).”
Meneliti kehidupan perkawinan
Perasaan N mungkin dialami oleh orang lain yang pasangannya berselingkuh. Marah dan terkejut, belum sembuh dari luka yang lama, dan mendapati pasangan ternyata masih menjalin hubungan dengan orang lain.
Untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik di antara berbagai pilihan yang tidak ideal, kita perlu meneliti kehidupan perkawinan dan relasi dengan pasangan. Sisi apa dari pasangan yang dulu menarik atau membuat jatuh hati? Apakah sisi-sisi itu merefleksikan tanggung jawab dan kematangan ataukah justru kekurangmampuan bertanggung jawab? Misal: genit, tebar pesona; menarik tetapi sangat tergantung dan rapuh; atau sebaliknya, memaksakan kepentingan sendiri dan egois?
Bagaimana N melihat tanggung jawab suami saat ini sebagai suami dan ayah, selain perselingkuhannya? Apakah ia bertanggung jawab dan jujur soal nafkah, bersedia berbagi peran mendidik anak? Bagaimana karakteristik pribadi N dan suami, dan bagaimana gambaran relasi yang ada? Apakah N selalu berkorban dan mengalah, sementara suami justru mempersepsi N mendominasi dan kurang menghargai? Apakah suami sungguh menyesal atau hanya di mulut saja?
Terlepas dari karakteristik pribadi pembantu, kita perlu menyadari posisi pembantu yang tidak memiliki posisi tawar dan sangat rentan: mudah mengalami eksploitasi seksual (mungkin dari majikan pria) dan jadi kambing hitam. Sudah jadi korban masih dipersalahkan (mungkin oleh majikan perempuan ataupun majikan laki-laki).
Mengapa suami sampai berhubungan dengan pembantu? Apakah merefleksikan karakteristik pribadi suami yang sangat lemah (misal: merasa diri kecil dan tak berharga karena mempersepsi istri sangat dominan), atau ketidakmampuan mengendalikan dorongan seksual dan egoisme sebagai laki-laki? (memang terobsesi mencari kesenangan seksual, mengobyekkan dan tidak menghormati perempuan, tidak peduli norma serta tanggung jawab).
Menata masa depan
Memprihatinkan bahwa kegagalan rumah tangga cukup sering dipersalahkan kepada pihak perempuan atau istri, termasuk ketika suami melakukan tindakan tidak pantas terhadap (dengan) pembantu. Tetapi kita juga perlu merefleksi, apakah memang benar orang-orang lain menyalahkan dan memusuhi ataukah itu perasaan kita sendiri yang sangat malu dengan kejadian yang dianggap aib sehingga jadi sensitif dan mudah curiga?
Mungkin teman dan tetangga mendengar kasus itu, sangat terkejut dan bingung harus bereaksi bagaimana karena takut menambah persoalan. Sementara itu kita sendiri minder dan bingung sehingga hubungan yang sebelumnya akrab berubah kaku bahkan tak berlanjut.
Setelah meneliti diri sendiri, pasangan, relasi dengan pasangan, serta semua pihak terkait (kepentingan anak dan lainnya), kita lebih mengerti dan dapat mengambil keputusan. Seyogianya kita melanjutkan hubungan karena menganggap ada cukup banyak hal baik yang masih dapat dipertahankan dan terus dikembangkan. Terlalu cepat memutuskan berpisah belum tentu merupakan solusi yang baik, tetapi mempertahankan perkawinan yang terlalu buruk juga belum tentu positif bagi kepentingan anak.
Bagaimana anak dapat belajar dengan tenang, mengembangkan rasa bangga dan aman dalam keluarga, jika relasi ayah-ibu tidak memberikan contoh pembelajaran yang baik? Keputusan harus diambil dengan kepala dingin setelah mempertimbangkan berbagai hal penting terkait, jika perlu dengan melibatkan pihak yang dianggap bijaksana dan dapat memfasilitasi kita menemukan solusi yang tepat.
Perselingkuhan menghancurkan berbagai hal indah yang pernah dibangun bersama. Semua pihak perlu bersabar dan memberi waktu bagi diri dan pasangannya untuk dapat menyatukan kembali keping-keping yang pecah. Suatu hal sulit, tetapi masih mungkin dilakukan apabila ada ketulusan dan niat baik dari semua.
sumbernya
Suami minta maaf dan memohon saya untuk tidak meninggalkan dia karena pertimbangan anak. Akhirnya saya mau bertahan walaupun hari-hari dipenuhi dengan ke-bete-an yang entah kapan berakhir. Bayang-bayang perselingkuhan itu selalu tergambar dalam benak saya.
Dua tahun ini saya berusaha untuk menumbuhkan kepercayaan lagi. Tetapi, apa yang terjadi, minggu lalu saya menemukan SMS di HP suami dengan mantan teman tapi mesranya. Saya marah dan merasa dikhianati karena seharusnya sudah tidak ada kebohongan di antara kami.
Saya berpikir hubungan ini harus diakhiri dengan perceraian karena saya sudah tidak percaya kepada suami dan saya tidak melihat dia berniat untuk berubah. Tetapi, bagaimana dengan anak-anak kami? Saya tidak ingin anak-anak bernasib seperti ayahnya (anak korban perceraian).”
Perasaan N mungkin dialami oleh orang lain yang pasangannya berselingkuh. Marah dan terkejut, belum sembuh dari luka yang lama, dan mendapati pasangan ternyata masih menjalin hubungan dengan orang lain.
Untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik di antara berbagai pilihan yang tidak ideal, kita perlu meneliti kehidupan perkawinan dan relasi dengan pasangan. Sisi apa dari pasangan yang dulu menarik atau membuat jatuh hati? Apakah sisi-sisi itu merefleksikan tanggung jawab dan kematangan ataukah justru kekurangmampuan bertanggung jawab? Misal: genit, tebar pesona; menarik tetapi sangat tergantung dan rapuh; atau sebaliknya, memaksakan kepentingan sendiri dan egois?
Bagaimana N melihat tanggung jawab suami saat ini sebagai suami dan ayah, selain perselingkuhannya? Apakah ia bertanggung jawab dan jujur soal nafkah, bersedia berbagi peran mendidik anak? Bagaimana karakteristik pribadi N dan suami, dan bagaimana gambaran relasi yang ada? Apakah N selalu berkorban dan mengalah, sementara suami justru mempersepsi N mendominasi dan kurang menghargai? Apakah suami sungguh menyesal atau hanya di mulut saja?
Terlepas dari karakteristik pribadi pembantu, kita perlu menyadari posisi pembantu yang tidak memiliki posisi tawar dan sangat rentan: mudah mengalami eksploitasi seksual (mungkin dari majikan pria) dan jadi kambing hitam. Sudah jadi korban masih dipersalahkan (mungkin oleh majikan perempuan ataupun majikan laki-laki).
Mengapa suami sampai berhubungan dengan pembantu? Apakah merefleksikan karakteristik pribadi suami yang sangat lemah (misal: merasa diri kecil dan tak berharga karena mempersepsi istri sangat dominan), atau ketidakmampuan mengendalikan dorongan seksual dan egoisme sebagai laki-laki? (memang terobsesi mencari kesenangan seksual, mengobyekkan dan tidak menghormati perempuan, tidak peduli norma serta tanggung jawab).
Memprihatinkan bahwa kegagalan rumah tangga cukup sering dipersalahkan kepada pihak perempuan atau istri, termasuk ketika suami melakukan tindakan tidak pantas terhadap (dengan) pembantu. Tetapi kita juga perlu merefleksi, apakah memang benar orang-orang lain menyalahkan dan memusuhi ataukah itu perasaan kita sendiri yang sangat malu dengan kejadian yang dianggap aib sehingga jadi sensitif dan mudah curiga?
Mungkin teman dan tetangga mendengar kasus itu, sangat terkejut dan bingung harus bereaksi bagaimana karena takut menambah persoalan. Sementara itu kita sendiri minder dan bingung sehingga hubungan yang sebelumnya akrab berubah kaku bahkan tak berlanjut.
Setelah meneliti diri sendiri, pasangan, relasi dengan pasangan, serta semua pihak terkait (kepentingan anak dan lainnya), kita lebih mengerti dan dapat mengambil keputusan. Seyogianya kita melanjutkan hubungan karena menganggap ada cukup banyak hal baik yang masih dapat dipertahankan dan terus dikembangkan. Terlalu cepat memutuskan berpisah belum tentu merupakan solusi yang baik, tetapi mempertahankan perkawinan yang terlalu buruk juga belum tentu positif bagi kepentingan anak.
Bagaimana anak dapat belajar dengan tenang, mengembangkan rasa bangga dan aman dalam keluarga, jika relasi ayah-ibu tidak memberikan contoh pembelajaran yang baik? Keputusan harus diambil dengan kepala dingin setelah mempertimbangkan berbagai hal penting terkait, jika perlu dengan melibatkan pihak yang dianggap bijaksana dan dapat memfasilitasi kita menemukan solusi yang tepat.
Perselingkuhan menghancurkan berbagai hal indah yang pernah dibangun bersama. Semua pihak perlu bersabar dan memberi waktu bagi diri dan pasangannya untuk dapat menyatukan kembali keping-keping yang pecah. Suatu hal sulit, tetapi masih mungkin dilakukan apabila ada ketulusan dan niat baik dari semua.
sumbernya
0 komentar: on "Menata Hubungan Setelah Selingkuh"
Posting Komentar